Selasa, 09 Maret 2010

Training Needs Analisis (TNA)

Setiap pelatihan harus dirancang dan direncanakan sedemikian rupa agar efektif, yaitu mencapai tujuan dan sasaran yang ingin dicapai. Sebuah program pelatihan harus mencakup sebuah pengalaman belajar dan harus merupakan sebuah kegiatan organisasional yang direncanakan dan dirancang sebagai jawaban atas kebutuhan organisasi yang spesifik. Apapun jenis dan bentuk pelatihan yang akan dilakukan dan dimanapun pelatihan itu dilaksanakan proses dasar pelatihan adalah sama.

Langkah pertama dalam kegiatan pelatihan adalah mengidentifikasikan dan menentukan apakah kebutuhan untuk pelatihan memang ada. Dalam buku-buku istilah yang sering digunakan adalah Training Needs Assessment atau Training Need Analyasis (TNA).

Training Need Analyasis adalah sebuah kegiatan yang harus dilakukan dengan sistematis dan obyektif.[1] Tujuan dari kegiatan TNA adalah mengumpulkan informasi untuk menentukan apakah pelatihan tersebut memang dibutuhkan dalam organisasi itu, jika benar dibutuhkan, pada bagian mana pelatihan tersebut dibutuhkan, pelatihan apa yang dibutuhkan, dan selain pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan, hal-hal apa lagi yang harus diajarkan.

Organisasi yang melaksanakan pelatihan tanpa didahului proses identifikasi kebutuhan dapat menghabiskan uang untuk kegiatan yang mubazir. Suatu masalah yang terkait dengan keefektifan dan efisiensi organisasi mungkin harus diatasi melalui perbaikan prosedur seleksi, perbaikan sistem imbalan, atau perubahan rancangan pekerjaan, tapi bukan pelatihan. Keuntungan utama dari kegiatan TNA adalah bahwa dapat ditetapkan terlebih dahulu target hasil pelatihan yang ingin dicapai untuk setiap pelatihan yang akan dikembangkan dan dilaksanakan.

Goldstein dan Buxton (1982)[2] mengemukakan tiga analisis kebutuhan pelatihan dan pengembangan, yaitu:

a) Analisis organisasi

Menganalisis tujuan organisasi, sumber daya yang ada, dan lingkungan organisasi yang sesuai dengan kenyataan. Wexley dan Latham (1981) mengemukakan bahwa dalam menganalisis organisasi perlu diperhatikan pertanyaan “where is training and development needed and where is it likely to be success ful within an organization?”[3] Hal ini dapat dilakukan dengan cara mengadakan survey sikap pegawai terhadap kepuasan kerja, persepsi pegawai, dan sikap pegawai dalam administrasi. Di samping itu, analisis organisasi dapat menggunakan turnover, absensi, kartu pelatihan, daftar kemajuan pegawai, dan data perencanaan pegawai.

Pendekatan ini mencoba menjawab pertanyaan “di mana” atau “pada bagian mana” penekanan atau pelatihan harus ditempatkan dalam perusahaan dan faktor-faktor apa saja yang berdampak pada pelatihan. Sehubungan dengan itu, acuan dari pendekatan ini adalah Misi, Visi, Strategi, dan Sasaran Kerja yang telah ditetapkan.

b) Analisis pekerjaan dan tugas

Analisis pekerjaan dan tugas merupakan dasar untuk mengembangkan program job-training. Sebagaimana program pelatihan analisis job, dimaksudkan untuk membantu pegawai meningkatkan pengetahuan, skill, dan sikap terhadap suatu pekerjaan.

Pendekatan khusus ini memanfaatkan hasil dari kegiatan analisis jabatan yang harus dilakukan secara khusus. Kegiatan analisis jabatan akan dilakukan untuk mengidentifikasi kebutuhan pelatihan harus berhasil mengidentifikasi ”dimensi dan level kompetensi” yang harus dimiliki oleh pemegang tiap jabatan. Semua elemen kompetensi yaitu: pengetahuan, kemampuan, keterampilan, minat, sikap dan sistem nilai yang diperlukan, harus diidentifikasi dan disebutkan tingkat (level) yang harus dicapai.

c) Analisis pegawai

Analisis pegawai difokuskan pada identifikasi khusus kebutuhan pelatihan bagi pegawai yang bekerja pada job-nya. Kebutuhan pelatihan pegawai dapat dianalisis secara individu maupun kelompok.

1) Kebutuhan individu dari pelatihan

Analisis kebutuhan individu dari pelatihan dapat dilakukan dengan cara observasi oleh supervisor, evaluasi keterampilan, kartu kontrol kualitas, dan tes keterampilan pegawai.

2) Kebutuhan kelompok dari pelatihan

Kebutuhan kelompok dari pelatihan dapat diprediksi dengan pertimbangan informal dan observasi oleh supervisor maupun manajer.

Pendekatan ini mencoba mencari jawaban ”siapa” didalam perusahaan yang memerlukan pelatihan dan pelatihan apa yang dibutuhkannya. Yang harus dilakukan pada cara ini adalah membandingkan kinerja/prestasi aktual dari seseorang karyawan atau unit kerja dengan standar yang ditetapkan atau harapan perusahaan. Kesenjangan yang ditemukan dapat mengidetifikasikan perlunya pelatihan.

Apabila solusi pengembangan pegawai berupa pelatihan, dan program/modul pelatihan yang dibutuhkan sudah tersedia di katalog pelatihan, maka pegawai tersebut dapat mengikuti pelatihan. Namun Apabila program/modul pelatihan yang dibutuhkan merupakan public training, maka peserta dapat diikutkan pada public training yang diperlukan. Apabila program/modul pelatihan yang dibutuhkan belum tersedia, maka divisi training melakukan proses desain, pengembangan dan penyusunan program/modul pelatihan.

Terkait hal tersebut, Andrew E. Sikula (1981) menyampaikan ”Appropriate materials should be provided. Educators should possess a reasonable repertoire of training tools and materials, such as cases, problems, discussion questions, and readings”.[4] Menurutnya, materi yang sesuai harus diberikan. Pengajar harus memiliki alat-alat pelatihan dan materi-materi yang cukup lengkap, seperti kasus-kasus, masalah-masalah, pertanyaan-pertanyaan untuk diskusi, dan bahan bacaan.

Lebih lanjut Andrew E. Sikula menyampaikan ”The learners must secure satisfation from the learning. Education must fulfill human needs, desires, and expectations”. (peserta harus memperoleh kepuasan belajar. Pendidikan harus memenuhi kebutuhan-kebutuhan, keinginan-keinginan, dan harapan-harapan peserta.)[5]

Selain itu, yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan training adalah bahwa proses pembelajaran orang dewasa berbeda dengan proses pembelajaran masa remaja (siswa/mahasiswa). Prinsip pembelajaran orang dewasa yang dikupas oleh Lindeman, dan kemudian Knowles (1984)[6], menjelaskan bahwa :

· Orang dewasa termotivasi untuk belajar apabila mereka memiliki kebutuhan atau minat yang bisa dipenuhi melalui pembelajaran itu. Ini merupakan titik tolak yang tepat untuk mengorganisir aktivitas pembelajaran orang dewasa.

· Orientasi pembelajaran orang dewasa berpusat kehidupan. Jadi, unit yang tepat untuk mengorganisir pembelajaran orang dewasa adalah situasi hidup, bukan subjek.

· Orang dewasa memiliki kebutuhan yang dalam untuk bisa mengarahkan dirinya. Oleh karena itu, peran guru adalah memicu proses pencarian diri dan bukan mentransfer pengetahuan dan kemudian mengevaluasi kecocokannya dengan kebutuhan tersebut.

· Perbedaan individu meningkat seiring bertambahnya usia. Pendidikan orang dewasa harus mempertimbangkan perbedaan gaya, waktu, tempat dan kecepatan belajar.

Dalam pelaksanaanya, penentuan peserta training Elementary Credit telah melalui proses TNA untuk menentukan peserta yang layak mengikuti training tersebut. Selain itu materi yang disusun pun telah disesuiakan untuk orang dewasa.


[1] Achmad S. Ruky. op.cit. hal. 236

[2] A. A. Anwar Prabu Mangkunegara. op.cit hal. 53

[3] Ibid. hal. 54

[4] A. A. Anwar Prabu Mangkunegara. op.cit hal. 57

[5] Ibid. hal 58.

[6] David Rees & Richard Mc Bain. op.cit. hal. 207

1 komentar:

  1. Pak, apa ada buku untuk referensi dalam melakukan TNA? Terima kasih.

    BalasHapus