Selasa, 09 Maret 2010

Evaluasi Pelaksanaan Training

Kualitas sumber daya manusia hingga saat ini masih tetap menjadi salah satu tantangan terbesar yang dihadapi oleh berbagai perusahaan. Tak terkecuali perbankan, baik perbankan konvensional maupun syariah. Kondisi itu tidak mengherankan, mengingat persaingan bisnis perbankan dan tuntutan masyarakat terhadap kualitas layanan perbankan kini semakin ketat. Hal itu mengharuskan setiap bank untuk selalu meningkatkan kualitas sumber daya manusia-nya.

Para pemimpin perusahaan saat ini pun semakin menyadari bahwa nasib perusahaan bukanlah ditentukan oleh modal financial, mesin, teknologi dan modal tetap tetapi sebenarnya berada di tangan “modal/kapital intangible[1] yang tidak lain adalah kompetensi sumber daya manusia. Hal ini dikarenakan kompetensi berkontribusi dalam pengembangan sumber daya manusia, yang pada gilirannya dapat memberi daya saing bagi perusahaan.

Kompetensi juga dapat membentuk pondasi terciptanya kinerja unggul dan efektif. Itulah sebabnya pimpinan perusahaan selalu menekankan pentingnya kompetensi dalam perusahaan, karena perusahaan yang memiliki daya saing adalah perusahaan yang memiliki orang-orang yang kompeten.

1

Perbankan, khususnya bank umum, merupakan inti dari system keuangan setiap Negara yang juga membutuhkan orang-orang kompeten didalamnya. Bank merupakan lembaga keuangan yang menjadi tempat bagi perusahaan, badan-badan pemerintah dan swasta, maupun perorangan menyimpan dana-dananya. Melalui kegiatan perkreditan dan berbagai jasa yang diberikan, bank melayani kebutuhan pembiayaan serta melancarkan mekanisme sistem pembayaran bagi semua sektor perekonomian.[2]

Menurut Mangasa Augustinus Sipahutar[3] mengenal dan memahami bisnis perbankan di Indonesia merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari mengenal dan memahami perekonomian Indonesia. Dengan demikian, peran yang diemban oleh lembaga perbankan ini sedemikian besarnya sehingga sangat sulit bagi kita untuk mengharapkan pertubuhan ekonomi yang baik tanpa didukung penuh oleh lembaga perbankan.

Salah satu fungsi bank adalah memberikan kredit kepada beberapa sektor perekonomoian. Menurut Imam Mulyana[4] Kredit merupakan salah satu bisnis utama bank bahkan dalam keberadaannya mendominasi bisnis utama lainnya. Karena mendominasi maka berkontribusi besar terhadap keberhasilan atau keterpurukan bank.

Dengan memberikan kredit kepada beberapa sektor perekonomian, bank melancarkan arus barang-barang dan jasa-jasa dari produsen kepada konsumen. Bank juga merupakan pemasok (supplier) dari sebagian besar uang yang beredar yang digunakan sebagai alat tukar atau alat pembayaran, sehingga mekanisme kebijakan moneter dapat berjalan. Hal-hal tersebut menunjukkan bahwa bank-terutama bank umum- merupakan suatu lembaga keuangan yang sangat penting dalam menjalankan kegiatan perekonomian dan perdagangan. Kondisi tersebut menuntut perbankan untuk terus meningkatkan kompetensi sumber daya manusianya terutama dibidang perkreditan.

Pentingnya peran kompetensi dibidang perkreditan dalam perbankan menuntut perusahaan harus menaruh perhatian penting terhadap peningkatan kualitas kompetensi tersebut. Lalu bagaimana membangun sumber daya manusia yang dimiliki agar lebih menjadi kompeten. Salah satu jawabannya adalah dengan pelatihan atau training. Training merupakan salah satu sarana yang umum digunakan oleh perusahaan untuk meningkatkan kompetensi pegawainya. Selain itu pelatihan dan pengembangan juga sebagai bagian integral dari proses pengembangan sumber daya manusia, peranannya menjadi penting dan strategis dalam mendukung visi perusahaan.

Dalam konteks ini, proses training atau pelatihan merupakan salah satu elemen yang paling banyak dilakukan untuk mendongkrak kompetensi para karyawan menuju level yang diharapkan. Faktanya menunjukkan bahwa perusahaan kelas dunia rata-rata mengalokasikan dana sebesar US$ 1,612 per tahunnya untuk melatih setiap karyawan yang mereka miliki (untuk perusahaan di Asia rata-rata adalah US$ 543). Selain itu, rata-rata jumlah jam pelatihan yang diikuti oleh setiap karyawan perusahaan kelas dunia tersebut adalah 62 jam per tahun (sementara untuk rata-rata perusahaan di Asia adalah 40 jam per tahun)[5].

Fakta diatas menunjukkan bahwa perusahaan kelas dunia menginvestasikan dana dan waktu yang relatif besar untuk melakukan kegiatan training. Harapannya, proses pelatihan ini akan mampu secara kontinyu meningkatkan keunggulan kompetensi para karyawannya. Dalam kasus di Indonesia, kita juga melihat banyak perusahaan – baik kelas menengah atau besar – yang rajin melakukan kegiatan training untuk para karyawannya, baik berupa kegiatan in-house training atau berpartisipasi melalui kelas public training. Kenyataan semacam ini tentu saja patut dipuji sebab ia menjadi ”sinyal” bahwa perusahaan domestik-pun mempunyai komitmen yang kuat untuk mendidik dan melatih para karyawannya.

Disadari maupun tidak bahwa perhatian perusahaan untuk meningkatkan kompetensi pegawainya mengakibatkan perusahaan harus mengalokasikan anggaran untuk pelaksanaan training. Harapannya adalah adanya peningkatan kompetensi pegawai sehingga dapat memenangkan persaingan bisnis. Setelah training diberikan, tentunya perusahaan perlu mengetahui sejauh mana efektivitas kegiatan training yang telah dilakukan itu? Adakah kegiatan training sekedar acara refreshing belaka demi “menghabiskan” budget yang telah dianggarkan? Adakah kegiatan training sekedar proses sesaat dan tak pernah memberikan value bagi kinerja perusahaan? Tentu saja, sejumlah pertanyaan ini valid untuk diajukan – lebih-lebih ketika dirasakan makin tidak adanya koneksi antara training dengan kinerja karyawan dan perusahaan secara keseluruhan.

Untuk menjamin kualitas penyelenggaraan program pelatihan, maka diperlukan suatu fungsi kontrol yang dikenal dengan evaluasi untuk mengukur efektivitas training tersebut terhadap tujuan yang ingin dicapai. Evaluasi pelatihan memiliki fungsi sebagai pengendali proses dan hasil program pelatihan sehingga akan dapat dijamin suatu program pelatihan yang sistematis, efektif dan efisien. Singkatnya, dengan dilakukanya evaluasi kita dapat melihat kembali proses pelatihan dan menilai hasil pelatihan serta dampak pelatihan yang dikaitkan dengan peningkatan kompetensi pegawai.

Terkait dengan hal tersebut, Donal L. Kirkpatrick (1998) mengatakan bahwa ”evaluasi suatu training adalah bagian yang tidak terpisahkan dari penyelenggaraan training itu sendiri dan bahwa evaluasi tersebut merupakan kegiatan yang harus dilakukan agar training secara keseluruhan dapat berlangsung efektif”[6]. Sebelumnya, pada tahun 1959, Kirkpatrick mengemukakan teorinya yang terkenal mengenai evaluasi training melalui tulisannya di American Society for Training and Development Journal. Menurutnya ada empat tingkat/level dalam evaluasi training, yaitu: (1) reaction, (2) Learning, (3) Behavior, dan (4) Result.[7]

Evaluasi level 1 (reaction), bertujuan untuk mengetahui reaksi dan pendapat peserta tentang program training yang mereka ikuti. Pada level 2 (Learning), tujuan evaluasi yaitu untuk mengukur sejauh mana pemahaman peserta training atas materi (content) yang diberikan pengajar (daya serap belajar). Pada level 3 (Behavior), tujuan evaluasi training yaitu untuk mengetahui sampai sejauh mana program training yang diikuti oleh peserta dapat merubah behavior/perilaku pegawai di tempat kerjanya atau sejauh mana pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh dari hasil program training telah di terapkan di unit kerja masing-masing. dan pada level 4 (result), evalusi bertujuan untuk mengetahui sejauh mana training yang dilakukan memberikan dampak/hasil (result) terhadap peningkatan kinerja peserta maupun perusahaan secara keseluruhan.

Mencermati keempat tingkat evaluasi tersebut, apabila kita berbicara tentang kualitas training, maka proses training pada umumnya selalu diarahkan untuk meningkatkan kompetensi pegawai, membentuk tenaga-tenaga terampil, dinamis dan kreatif dengan tidak melepaskan diri dari dasar-dasar budaya perusahaan. Kualitas training dapat menunjuk pada kualitas proses dan kualitas produk. Dimana suatu pendidikan disebut berkualitas dari segi proses, jika proses pembelajaran yang bermakna, ditunjang oleh sumber daya (manusia, dana, sarana, prasarana) yang wajar. Logikanya, proses pendidikan yang berkualitas akan menghasilkan output yang berkualitas pula. Oleh karena itu, intervensi sistematis diberikan terhadap prosesnya, sehingga memberikan jaminan kualitas pada produk yang memuaskan.

Dalam penyelenggaraan training, kita membutuhkan berbagai informasi agar proses training berjalan optimal. Kita membutuhkan informasi tentang peserta yang akan mengikuti training. Pertanyaan-pertanyaan evaluasi yang relevan digunakan, antara lain: apakah peserta yang akan diajarkan sudah cukup menguasi kemampuan dasar atau pokok bahasan prasyarat dari materi yang diajarkan? Bagaimana tingkat motivasi peserta dalam mengikuti training? Mengapa mereka mengambil training ini atau tertentu, dan bukan training lainnya? Kita perlu pula melakukan evaluasi terhadap sarana dan prasarana yang dibutuhkan. Beberapa pertanyaan evaluasi yang dapat diajukan antara lain, Apakah ruang training sebanding dengan jumlah peserta? Apakah media yang digunakan perlu diperbaiki? Juga kita harus mengetahui bagaimana kualitas pengajar. Misalnya, apakah ada hal-hal yang perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitas penyajian materi training? Apakah proses training berikutnya akan sama dengan training yang sudah dilakukan sebelumnya? Apakah persiapan training sudah cukup memadai? Bagaimana pendapat peserta terhadap pelaksanaan training? Apakah training berjalan sesuai dengan rencana yang telah dibuat diawal?

Semua jawaban terhadap pertanyaan di atas dapat digunakan sebagai masukan untuk membuat keputusan, misalnya apakah pengajar dan timnya yang sekarang ini perlu diperbaiki formasinya? Apakah strategi pembelajaran yang selama ini dipakai perlu diganti dengan yang lainnya? Apakah cara mengajar para pengajar perlu diubah? Apakah sarana dan prasarana penunjang training yang digunakan selama ini perlu diperbaiki? Apakah pelayanan penyelenggara telah memenuhi harapan peserta training.

Untuk menemukan jawaban atas berbagai permasalahan tersebut dan sekaligus merumuskan cara-cara pemecahannya, dilakukan evaluasi terhadap efektivitas pelaksanaan Program


[1] Cari di internet mengenai pengertian modal intangibel kemudian buatkan foot notenya.

[2] http://books.google.co.id/Kelembagaan perbankan

[3] Mangasa Augustinus Sipahutar. 2007. Persoalan-persoalan Perbankan Indonesia. Jakarta. Gorga Media. Hal v.

[4] Imam Mulyana. 2007. Benteng Pertahanan Kredit Perbankan. http://id.shvoong.com/

[5] Yodhia Antariksa. 2007. Dampak Training : Gone With the Wind. http://strategimanajemen.net/

[6] Stefan Tupamahu., 2005. Pengukuran Efektivitas dan Dampak Finansial Training. Jakarta. 2005. Tesis Program Studi Magister Manajemen Universitas Indonesia. hal. 3.

[7] Donald L. Kirkpatrick. 1994. Evaluating Training Programs: The four levels. San Francisco. Berrett-Koehler Publishers. hal. xiii.

Metode Pelatihan

Metode adalah cara yang digunakan untuk mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam kegiatan nyata agar tujuan yang telah disusun tercapai secara optimal. Ini berarti, metode digunakan untuk merealisasikan strategi yang telah ditetapkan.[1] Dengan demikian, metode pelatihan adalah cara atau teknik bagaimana sebuah program pelatihan yang telah dirancang dilaksanakan dengan baik. Menurut Anwar Prabu Mangkunegara, beberapa metode yang dapat digunakan dalam pelaksanaan training adalah sebagai berikut: [2]

1) Metode On the Job Training.

Metode ini merupakan pelatihan yang diberikan oleh atasan langsung pegawai atau oleh pelatih khusus sambil melaksanakan pekerjaannya. Pegawai mempelajari pekerjaanya dengan mengamati pegawai lain yang sedang bekerja dan kemudian mengobservasi perilakunya. Aspek-aspek lain dari on the job training adalah lebih formal dalam format pegawai senior memberikan contoh cara mengerjakan pekerjaan dan pegawai baru memperhatikannya.

Fungsi metode on the job training antara lain supervisor mampu menarik simpati pegawai peserta pelatihan. Oleh karena itu, supervisor harus terlatih dan memadai. Metode ini sangat tepat untuk mengerjakan skill yang dapat dipelajari dalam beberapa hari atau beberapa minggu. Hanya saja peserta pelatihan dalam metode on the job training harus dilakukan pada waktu yang sama dan untuk pekerjaan yang sama pula. On the job training sangat tepat pula digunakan untuk pelatihan semi skill, seperti pekerjakan klerek, sales atau pramuniaga. Manfaat dari metode on the job training adalah peserta belajar dengan perlengkapan yang nyata dan dalam lingkungan pekerjaan yang jelas.

2) Metode Vestibule atau Balai

Suatu vestibule adalah suatu ruangan isolasi atau terpisah yang digunakan untuk tempat pelatihan bagi pegawai baru yang akan menduduki suatu pekerjaan. Metode vestibule merupakan metode pelatihan yang sangat cocok untuk banyak peserta (pegawai baru) yang dilatih dengan jenis pekerjaan yang sama dalam waktu yang sama. Pelaksanaan metode vestibule biasanya dilakukan dalam waktu beberapa hari sampai beberapa bulan dengan pengawasan instruktur, misalnya pelatihan pekerjaan pengetikan klerek, operator mesin.

3) Metode Demonstrasi

Metode demonstrasi merupakan metode pelatihan yang sangat efektif karena lebih mudah menunjukkan kepada peserta cara mengerjakan suatu tugas. Suatu demonstrasi menunjukkan dan merencanakan bagaimana suatu pekerjaan atau bagaimana sesuatu itu dikerjakan. Metode demonstrasi melibatkan penguraian dan memeragakan sesuatu melalui contoh-contoh. Metode ini sangat mudah bagi manajer dalam mengajarkan pegawai baru mengenai aktivitas nyata melalui suatu tahap perencanaan dari ”bagaimana dan apa sebabnya” pegawai mengerjakan pekerjaan yang ia kerjakan.

4) Metode Simulasi

Adalah suatu situasi atau peristiwa menciptakan bentuk realitas atau imitasi dari realitas. Simulasi itu merupakan pelengkap sebagai teknik duplikat yang mendekati kondisi nyata pada pekerjaan. Metode simulasi yang populer adalah permainan bisnis (bussiness games). Metode simulasi ini merupakan metode pelatihan yang sangat mahal, tetapi sangat bermanfaat dan diperlukan dalam pelatihan.

5) Metode Apprenticeship

Metode training appenticeship adalah suatu cara menegmbangkan keterampilan (skill) pengrajin atau pertukangan. Metode ini didasarkan pula pada on the job training dengan memberikan petunjuk-petunjuk cara pengerjaannya. Metode apprenticeship tidak mempunyai standar format. Pegawai peserta mendapatkan bimbingan umum dan dapat langsung mengerjakan pekerjaannya.

6) Metode Ruang Kelas

Metode ruang kelas merupakan metode training yang dilakukan di dalam kelas walaupun dapat dilakukan di area pekerjaan. Aspek-aspek tertentu dari semua pekerjaan lebih mudah dipelajari dalam ruang kelas daripada on the job. Teristimewa hal tersebut benar jika falsafah, konsep-konsep, sikap, teori-teori, dan kemampuan memecahkan masalah harus dipelajari. Metode ruang kelas adalah kuliah, konferensi, studi kasus, bermain peran, dan pengajaran berprogram (programmed instruction).

a) Metode kuliah

Kuliah merupakan suatu ceramah yang disampaikan secara lisan untuk tujuan–tujuan pendidikan. Perkuliahan telah menjadi tradisi yang digunakan sebagai metode pengajaran ruang kelas di akademi dan universitas. Keuntungan metode kuliah adalah dapat digunakan untuk kelompok besar sehingga biaya peserta menjadi rendah dan dapat menyajikan banyak bahan pengetahuan dalam waktu yang relatif singkat, sedangkan kelemahannya, peserta lebih bersikap pasif, komunikasi hanya satu arah, sehingga tidak terjadi umpan balik dari peserta. Kuliah cenderung untuk menekankan ingatan fakta-fakta dan gambar-gambar saja. Dengan demikian, kuliah kurang menekankan pengaplikasian pengetahuan. Oleh karena itu metode kuliah harus dikombinasikan dengan metode lainnya seperti diskusi dan tanya jawab.

b) Metode konferensi

Konferensi merupakan suatu pertemuan formal tempat terjadinya diskusi atau konsultasi tentang sesuatu yang penting. Konferensi menekankan adanya diskusi kelompok kecil, materi pelajaran yang terorganisasi dan melibatkan peserta aktif. Pada metode konferensi, belajar didasarkan melalui partisipasi lisan dan interaksi antar peserta atau anggota peserta. Peserta dianjurkan untuk memberikan gagasan-gagasan untuk didiskusikan, dievaluasi dan mungkin pula dapat diubah oleh pendapat atau pandangan-pandangan dari peserta lainnya. Pada konferensi, jumlah peserta sekitar 15 sampai 20 orang. Metode ini sangat berguna untuk pengembangan pengertian-pengertian dan pembentukan sikap-sikap baru. Adapun kelemahannya metode ini adalah terbatasnya peserta pada kelompok kecil, sehingga biaya relatif menjadi lebih besar.

c) Metode studi kasus

Studi kasus adalah uraian tertulis atau lisan tentang masalah yang ada atau keadaan selama waktu tertentu yang nyata maupun secara hipotesis. Pada metode studi kasus, peserta diminta untuk mengidentifikasi masalah-masalah dan merekomendasi pemecahan masalah. Metode ini menghendaki belajar melalui perbuatan, dengan maksud meningkatkan pemikiran analisis dan kemampuan memecahkan masalah. Metode studi kasus ini berfungsi pula sebagai pengintegrasian pengetahuan yang diperoleh dari sejumlah fondasi disiplin.

d) Metode bermain peran

Peran merupakan suatu bentuk perilaku yang diharapkan. Peserta diberitahukan mengenai suatu kesan dan peran yang harus mereka mainkan. Selama bermain peran, dua orang atau lebih peserta diberikan bagian-bagian untuk bermain sebelum kelompok beristirahat. Bagian-bagian itu dikarakteristikan, tetapi tidak melibatkan memori atau ingatan. Peran peserta adalah menjelaskan situasi dan masing-masing peran mereka yang harus mereka perankan dalam konteks hipotesis tersebut. Sesudah beberapa waktu untuk perencanaan pendahuluan, situsi itu kemudian diperankan oleh peserta-peserta. Bermain peran terutama digunakan untuk memberi kesempatan kepada peserta untuk mempelajari keterampilan berhubungan antara manusia melalui praktik, mengembangkan pemahaman mengenai pengaruh perilaku mereka pada peserta lainnya. Manfaat metode bermain peran adalah pertama, belajar melalui perbuatan. kedua, Menekankan sensivitas manusia dan interaksinya. Ketiga, hasil pengetahuan segera diperoleh dan keempat, menimbulkan minta dan terlibatan tinggi.

e) Bimbingan berencana (programmed instruction)

Metode bimbingan berencana terdiri dari serangkaian langkah yang berfungsi sebagai pedoman dalam melaksanakan suatu pekerjaan atau sekelompok pelaksana pekerjaan. Metode bimbingan berencana meliputi langkah-langkah yang telah diatur terlebih dahulu mengenai prosedur yang berhubungan dengan penguasaan keterampilan khusus atau pengetahuan umum. Bimbingan berencana dapat dilakukan dengan menggunakan buku, pedoman (manual), dan mesin petunjuk pengajaran (teaching machine).

Manfaat metode bimbingan berencana adalah: pertama, peserta belajar dengan cara mereka sendiri. Kedua, materi yang dipelajari dibagi-bagi ke dalam satuan-satuan kecil, sehingga mudah dapat diserap dan diingat oleh peserta. Ketiga, adanya umpan balik langsung. Keempat, adanya partisipasi peserta secara aktif. Kelima, perbedaan antara peserta dapat diperhatikan, dan keenam, pelatihan dapat diselenggarakan kapan saja dan dimana saja.

Adapun kelemahan metode bimbingan berencana antara lain: pertama, kedudukan pengajaran bersifat impersonal. Kedua, fakta kemajuan, belajar tidak terjadi sampai informasi pendahuluan dipelajari. Ketiga, hanya materi pelajaran yang nyata yang dapat diprogramkan. Keempat, falsafah dan konsep sikap yang berhubungan dengan keterampilan motorik tidak dapat diajarkan melalui metode bimbingan berencana. Kelima, biaya yang diperlukan sangat besar.

Metode training yang telah disusun dinilai sudah tepat bagi pengajar untuk menyampaikan materi training kepada peserta, namun metode tersebut belum tentu cocok bagi peserta yang mengikuti training. Karena alasan itulah kita harus mengkonfirmasi kecocokan metode training yang digunakan kepada peserta.

Andrew E. Sikula menambahkan bahwa ”Learning methods should be varied. Variety should be introduced to offset fatigue and boredom”. (Metode-metode belajar harus bervariasi, untuk mencegah timbulnya kelelahan dan kebosanan)[3]

Strategi atau metode adalah komponen yang juga mempunyai fungsi yang sangat menentukan. Keberhasilan pencapaian tujuan sangat ditentukan oleh komponen ini. Bagaimanapun lengkap dan jelasnya komponen lain, tanpa dapat diimplementasikan melalui strategi yang tepat, maka komponen-komponen tersebut tidak akan memiliki makna dalam proses pencapaian tujuan. Oleh karena itu setiap instruktur perlu memahami secara baik peran dan fungsi metode dan strategi dalam pelaksanaan proses pembelajaran.

Berdasarkan pemaparan di atas, yang menjadi indikator dari dimensi ini adalah seberapa jauh peserta merespon bahwa metode training yang digunakan telah tepat digunakan untuk training yang diikutinya.


[1] Achmad S. Ruky. op.cit. hal. 246

[2] A. A. Anwar Prabu Mangkunegara. op.cit. hal. 62-63.

[3] Ibid hal. 57

Fasilitas atau Sarana-prasarana Training

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi informasi sangat berpengaruh terhadap penyusunan dan implementasi strategi pembelajaran. Melalui kemajuan tersebut para pengajar dapat menggunakan berbagai media sesuai dengan kebutuhan dan tujuan pembelajaran. Dengan menggunakan media komunikasi bukan saja dapat mempermudah dan mengefektifkan proses pembelajaran, akan tetapi juga bisa membuat proses pembelajaran lebih menarik.

Proses pembelajaran merupakan proses komunikasi. Dalam suatu proses komunikasi selalu melibatkan tiga komponen pokok, yaitu komponen pengirim pesan (pengajar), komponen penerima pesan (peserta) dan komponen pesan itu sendiri yang biasanya berupa materi training. Kadang-kadang dalam proses pembelajaran terjadi kegagalan komunikasi. Artinya, materi training atau pesan yang disampaikan pengajar tidak dapat diterima oleh peserta dengan. Artinya tidak seluruh materi training dapat dipahami dengan baik oleh peserta, lebih parah lagi peserta sebagai penerima pesan salah menangkap isi pesan yang disampaikan. Untuk menghindari semua itu, maka pengajar dapat menyusun strategi pembelajaran dengan memanfaatkan berbagai media dan sumber belajar.

Secara umum media merupakan kata jamak dari ”medium” yang berarti perantara atau pengantar. Kata media berlaku untuk berbagai kegiataan atau usaha, seperti media dalam penyampaian pesan, media pengantar magnet atau panas dalam bidang teknik. Istilah media digunakan juga dalam bidang pengajaran atau pendidikan sehingga istilahnya menjadi media pendidikan atau media pembelajaran.

Ada beberapa konsep atau definisi pendidikan atau media pembelajaran. Rossi dan Breidle (1966)[1] mengemukakan bahwa media pembelajaran adalah seluruh alat dan bahan yang dapat dipakai untuk mencapai tujuan pendidikan seperti radio, televisi, buku, koran, majalah, dan sebagainya. Menurut Rossi alat-alat semacam radio dan televisi kalau digunakan dan diprogram untuk pendidikan maka merupakan media pembelajaran.

Namun demikian, media bukan hanya berupa alat atau bahan saja, akan tetapi hal-hal lain yang memungkinkan siswa dapat memperoleh pengetahuan. Gerlach dan Ely (1980)[2] menyatakan ”A medium, conceived is any person, material or event that establishs condition which enable the learner to acquire knowledge, skill, and attitude.” Menurut Gerlach secara umum media itu meliputi orang, bahan, peralatan, atau kegiatan yang menciptakan kondisi yang memungkinkan peserta memperoleh pengetahuan, keterampilan dan sikap. Jadi dalam pengertian ini media bukan hanya alata perantara seperti TV, radio, slide, bahan cetakan, tetapi meliputi orang atau manusia sebagai sumer belajar atau juga berupa kegiatan semacam diskusi, seminar, karya wisata, simulasi, dan lain sebagainya yang dikondisikan untuk menambah pengetahuan dan wawasan, mengubah sikap peserta atau untuk menambah keterampilan.

Dari dua pengertian di atas, maka tampak pengertian terakhir yang dikemukakan Gerlach lebih luas dibandingkan dengan pengertian yang pertama.

Selain pengertian di atas, ada juga yang berpendapat bahwa media pengajaran meliputi seperangkat keras (hardware) dan perangkat lunak (software). Hardware adalah alat-alat yang dapat mengantarkan pesan seperti overhead projector, radio, televisi dan sebagainya. Sedangkan software adalah isi program yang mengandung pesan seperti informasi yang terdapat pada transparansi atau buku dan bahan-bahan cetakanlainnya, cerita yang terkandung dalam film atau materi yang disuguhkan dalam bentuk bagan, grafik, diagram, dan lain sebagainya.

Hal lain yang harus diperhatikan dalam proses training adalah sarana dan prasarana. Sarana adalah segala sesuatu yang mendukung secara langsung terhadap kelancaran proses pembelajaran, misalnya media pembelajaran, alat-alat pelajaran, perlengkapan training, dan lain sebagainya. Sedangkan prasarana adalah segala sesuatu yang secara tidak langsung dapat mendukung keberhasilan proses pembelajaran, misalnya penerangan, kamar kecil, pengeras suara dan lain-lain. Kelengkapan sarana dan prasarana akan membantu pengajar dalam penyelenggaraan proses pembelajaran. Dengan demikian sarana dan prasarana merupakan komponen penting yang dapat mempengarhui proses pembelajaran

Terdapat beberapa keuntungan bagi perusahaan yang memiliki perlengkapan sarana dan prasarana training. Pertama, kelengkapan sarana dan prasarana dapat menumbuhkan gairah dan motivasi pengajar. Mengajar dapat dilihat dari dua dimensi, yaitu sebagai proses penyampaian materi training dan sebagai proses pengaturan lingkungan yang dapat merangsang peserta untuk belajar. Jika mengajar dipandang sebagai proses penyampaian materi, maka dibutuhkan sarana pembelajaran berupa alat dan bahan yang dapat menyalurkan pesan secara efektif dan efisien; sedangkan manakala mengajar dipandang sebagai proses mengatur lingkungan agar peserta dapat belajar, maka dibutuhkan sarana yang berkaitan dengan berbagai sumber belajar yang dapat mendorong peserta untuk belajar. Dengan demikian, ketersediaan sarana yang lengkap memungkinkan pengajar memiliki berbagai pilihan yang dapat digunakan untuk melaksanakan fungsi mengajarnya; dengan demikian mengajar dapat meningkatkan gairah mengajar mereka. Kedua, kelengkapan sarana dan prasarana dapat memberikan berbagai pilihan pada siswa untuk belajar. Setiap peserta training pada dasarnya memiliki gaya belajar yang berbeda. Siswa yang bertipe auditif akan lebih mudah belajar melalui pendengaran, sedangkan tipe peserta yang visual akan lebih mudah belajar melalui penglihatan. Kelengkapan sarana dan prasarana akan memudahkan peserta menentukan pilihan dalam belajar.

Fasilitas, walaupun fungsinya sebagai alat bantu, akan tetapi memiliki peran yang tidak kalah pentingnya sebagai alat bantu, akan tetapi memiliki peran yang tidak kalah pentingnya. Andrew E, Sikula (1981)[3] menyampaikan bahwa ”Learning is closely related to attention and concertration. The learning process is more effective if distractions are avoided” (belajar berhubungan erat dengan perhatian dan konsentrasi. Proses belajar akan lebih efektif jika tidak ada gangguan.) Sehingga Fasilitas training tidak hanya dilihat dari ketersedianya, tetapi apakah fasilitas tersebut dapat berfungsi dengan baik dan dapat digunakan dalam proses training.


[1] Wina Sanjaya. 2006. Strategi Pembelajaran: Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta. Kencana Prenada Media. hal. 161

[2] ibid

[3] A. A. Anwar Prabu Mangkunegara. op.cit. hal 59

Tenaga Pengajar

Peran pengajar salah satunya adalah sebagai sumber belajar. Peran ini berkaitan erat dengan penguasaan materi training. Kita bisa menilai baik atau tidaknya seorang pengajar hanya dari penguasaan materi training. Dikatakan pengajar yang baik manakala ia dapat menguasai materi pelajaran dengan baik, sehingga benar-benar ia berperan sebagai sumber belajar bagi peserta training. Apa pun yang ditanyakan peserta berkaitan dengan materi training yang sedang diajarkannya mampu dijawab dengan penuh keyakinan. Sebaliknya dikatakan pengajar yang kurang baik manakala ia tidak paham tentang materi yang diajarkannya. Ketidakpahaman tentang materi training biasanya ditunjukkan oleh perilaku-perilaku tertentu, misalnya teknik penyampaian materi training yang monoton, lebih sering duduk di kursi sambil membaca, suaranya lemah, tidak berani melakukan kontak mata dengan peserta, miskin dengan ilustrasi dan lain-lain. Prilaku pengajar yang demikian bisa menyebabkan hilangnya kepercayaan pada peserta training sehingga pengajar akan sulit mengendalikan kelas.

Menurut Andrew E. Sikula (1981), ”Learning is active, not passive. Effective education requires action, and involvement from all participant”. (Belajar adalah aktif, bukan pasif. Pendidikan yang efektif menuntut aksi dan melibatkan semua peserta pelatihan/pengembangan).[1]



[1] A. A. Anwar Prabu Mangkunegara. op.cit. hal. 59

Model evaluasi training Four Levels


Merupakan model evaluasi pelatihan yang dikembangkan pertama kali oleh Kirkpatrick pada tahun 1959, teori tersebut dikenal dengan The Four Levels Techniques for Evaluating Training Programs. Pada prinsipnya, teori ini menyatakan bahwa proses evaluasi suatu training terdiri dari empat tingkat/level yaitu level 1 sampai dengan level 4. Empat level tersebut adalah reaction, learning, behavior dan result.

a) Evaluasi Training Level 1: Reaction

Evaluasi level ini mengukur tingkat kepuasan peserta setelah mengikuti training. Selain itu untuk mengetahui opini dari para peserta mengenai training yang diikutinya. Cara yang biasa dilakukan adalah meminta para peserta untuk mengisi sebuah kuesioner yang berisi pertanyaan-pertanyaan tentang reaksi dan kesan mereka atas penyelenggaraan training tersebut.

Dalam banyak hal, penilaian reaksi mengindikasikan besarnya kepuasan peserta. Banyak evaluator mengkritik penilaian reaksi akibat subjektivitas ini, akan tetapi peserta traininglah yang mengetahui dan merasakan seluruh proses pelaksanaan training yang diikutinya, sehingga untuk mengetahui tingkat kepuasan penyelenggaraan training harus mendapatkan informasi dari peserta training.

Kirkpatrick (1959)[1] mengatakan bahwa evaluasi atas reaksi peserta mengenai training yang diikutinya merupakan hal yang penting untuk dilakukan karena menurutnya apabila seorang peserta bereaksi negatif dan tidak menyukai cara-cara penyelenggaraan training maka jangan diharapkan dia mampu mempelajari dan memahami dengan baik materi yang disampaikan dalam training tersebut. Hal-hal yang dievalasi pada level ini antara lain mengenai materi training, instruktur/ trainer, fasilitas yang disediakan, waktu penyelenggaraan, serta metode yang digunakan.

b) Evaluasi Training Level 2: Learning

Tujuan evaluasi tahap ini adalah mengukur sampai sejauh mana materi yang diberikan selama pelatihan telah dipahami, dihayati, dan diingat oleh para peserta. Pengukuran biasanya dilaksanakan dalam bentuk tes yang dilakukan sebelum dan sesudah training.

Tiga domain kompetensi (knowledge, skills, dan attitudes) merupakan hal-hal yang dapat berikan dalam suatu training. Oleh karenanya, evaluasi pada level ini juga menekankan pada seberapa jauh pembelajaran (learning) peserta atas materi training dalam konteks meningkatkan kompetensi mereka. Kirkpatrick menekankan pentingnya dilakukan evaluasi ini karena menurutnya jika seorang peserta tidak dapat memahami dengan baik materi yang diberikan, maka jangan berharap akan terjadi perubahan dalam behavior-nya saat dia kembali ke tempat kerjanya.[2]

Untuk mengetahui apakah seorang peserta telah memahami dengan baik materi training yang diikutinya dilakukan pengujian sebelum dan sesudah training (pre-test dan post-test) dengan materi yang sama atau tidak jauh berbeda sehingga hasilnya dapat diperbandingkan. Jika terdapat peningkatan skor hasil post-test dibandingkan pre-test maka diyakin bahwa peserta tersebut telah memiliki pemahaman yang lebih baik sebagai dampak mengikuti training.

c) Evaluasi Training Level 3: Behavior

Evaluasi level 3 dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh perubahan yang terjadi pada diri peserta pada saat dia kembali ke lingkungan pekerjaannya setelah mengikuti training, khususnya perubahan pada behavior ketiga domain kompetensi (knowledge, skills, dan attitudes). Menurut Kirkpatrick[3], pertanyaan kritis pada evaluasi ini adalah: perubahan –perubahan dalam job behavior apa saja yang terjadi setelah seorang pegawai mengikuti training tertentu? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, menurutnya ada tiga hal penting yang harus diperhatikan yaitu pertama, eks-peserta tidak dapat merubah behavior-nya sampai dia memperoleh kesempatan untuk melakukannya. Kedua, sangat sukar untuk memperkirakan kapan perubahan itu akan terjadi dan ketiga, bisa jadi eks-peserta tadi menerapkan pengetahuan dan keterampilan barunya dalam pekerjaanya sehari-hari sekembalinya dari training, namun kemudian tidak melakukannya lagi di kemudian hari.

Dengan kata lain, evaluasi level 3 ini tak cukup hanya sekedar mengukur perubahan yang terjadi pada behavior eks-peserta, namun lebih jauh lagi perlu dievaluasi pula sejauhmana perubahan yang terjadi tersebut dapat diterapkan dalam praktek kerja sehari-harinya. Evaluasi ini perlu dilakukan karena bisa saja perubahan yang dialami oleh eks-peserta training berupa meningkatnya pengetahuan, bertambahnya keterampilan, atau berubahnya perilaku dalam kinerja pada kenyataanya tidak dapat membawa pengaruh besar ketika dicoba untuk diterapkan dalam pekerjaannnya, hal mana disebabkan oleh adanya faktor-faktor non-training yang menjadi penghambat, misalnya sistem operasional yang kurang handal, lingkungan kerja yang kurang kondusif dan sebagainya. Memperhatikan pentingnya penerapan perubahan behavior dalam praktek kerja sehari-hari, Kirkpatrick juga menyarankan perlunya diberikan bantuan, bimbingan, serta penghargaan bagi eks-peserta training ketika dia kembali ke tempat kerjanya.

d) Evaluasi Training Level 4: Results

Evaluasi level 4 diakui oleh Kirkpatrick sebagai evaluasi yang paling penting sekaligus paling sulit dilakukan, yaitu sejauhmana training yang dilakukan memberikan dampak/hasil (result) terhadap peningkatan kinerja eks-peserta, unit kerja, maupun perusahaan secara keseluruhan. Berbeda dari para pengkritinya, Kirkpatrick meyakini bahwa dampak training terhadap kinerja tidaklah mungkin dievaluasi dalam konteks analisis keuangan. Ada dua hal yang mendasari keyakinannya tersebut. Pertama, tidaklah mungkin mengukur result yang diperleh dari training dalam satuan keuangan untuk kemudian dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan untuk penyelenggaraan training tersebut. Kedua, jikapun hal pertama dapat dilakukan, analisis yang diperoleh tidak lalu menyimpulkan bahwa manfaat yang diperoleh merupakan hasil langsung dari program training. Dengan kata lain, masih ada faktor-faktor lain yang juga mempengaruhi peningkatan kinerja yang terjadi dan tidak semata-mata merupakan hasil training.

Menurut Kirkpatrick[4], result yang diperoleh seringkali merupakan sesuatu yang sangat sulit untuk dikuantifisir, misalnya peningkatan kualitas kerja, produktivitas yang semakin meningkat, peningkatan kepuasan kerja, efektivitas komunikasi, penurunan tingkat kesalahan, peningkatan kerjasama antar pegawai, dan sebagainya. Di sisi lain, biaya penyelenggaraan program juga terlalu sukar untuk ditentukan dan diisolasi dari biaya-biaya lainnya. Dengan kata lain, terlalu banyak faktor yang mempengaruhi perhitungan manfaat maupun biaya suatu training.

Lebih lanjut Jack Phillips (2002)[5] mengembangkan teori Kirkpatrick hingga level 5 yaitu model Return on Training Investment (ROTI). Model ROTI yang dikembangkan oleh Jack Phillips tersebut merupakan level evaluasi terakhir untuk melihat cost-benefit setelah pelatihan dilaksanakan. Kegunaan model ini agar pihak manajemen perusahaan melihat pelatihan bukan sesuatu yang mahal dan hanya merugikan pihak keuangan, akan tetapi pelatihan merupakan suatu investasi. Sehingga dapat dilihat dengan menggunakan hitungan yang akurat keuntungan yang dapat diperoleh setelah melaksanakan pelatihan, dan hal ini tentunya dapat memberikan gambaran lebih luas, apabila ternyata dari hasil yang diperoleh ditemukan bahwa pelatihan tersebut tidak memberikan keuntungan baik bagi peserta maupun bagi perusahaan. Dapat disimpulkan bahwa model evaluasi ini merupakan tambahan dari model evaluasi Kirkpatrick yaitu adanya level ROTI (Return On Training Investment), pada level ini ingin melihat keberhasilan dari suatu program pelatihan dengan melihat dari Cost- Benefit-nya, sehingga memerlukan data yang tidak sedikit dan harus akurat untuk menunjang hasil dari evaluasi pelatihan yang valid.

[1] Stefan Tupamahu op.cit. hal. 14

[2] Ibid. hal.15

[3] Ibid. hal.16

[4] Ibid. hal.17

[5] Ibid

Pengertian Pelatihan dan Pengembangan


Penggunaan istilah pelatihan (training) dan pengembangan (development), dikemukakan oleh ahlinya, antara lain:

Pelatihan didefinisikan oleh Ivancevich (1995) sebagai usaha untuk meningkatkan kinerja karyawan dalam pekerjaannya sekarang atau dalam pekerjaan lain yang akan dijabatnya.[1] Berdasarkan definisi tersebut menurut Ivancevich dijelaskan bahwa pelatihan terkait dengan keterampilan dan kemampuan yang diperlukan untuk pekerjaan yang sedang dilakukan. Pelatihan berorientasi ke masa sekarang dan membantu karyawan untuk menguasai keterampilan dan kemampuan (kompetensi) yang sepesifik untuk berhasil dalam pekerjaannya.

David Rees & Richard Mc Bain mendefinisikan pelatihan sebagai Intervensi sengaja untuk membantu seseorang menjadi lebih cakap dalam bekerja.[2]

Dale Yoder menggunakan istilah pelatihan untuk pegawai pelaksana dan pengawas, sedangkan istilah pengembangan ditujukan untuk pegawai tingkat manajemen.[3]

Wexley dan Yulk (1976)[4] mengemukakan : “Training and development are terms reffering to planned efforts designed facilitate the acquisition of relevant skills, knowledge and attitudes by organizational members”.

Lebih lanjut Wexley dan Yulk menjelaskan “Development focuses more on improving the decision making and human relations skills of middle and upper level management, while training involves lower level employees and the presentation of more factual and narrow subject matter.[5]

Pendapat Wexley dan Yulk tersebut lebih meperjelas penggunaan istilah pelatihan dan pengembangan. Mereka berpendapat bahwa pelatihan dan pengembangan merupakan istilah-istilah yang berhubungan dengan usaha-usaha berencana, yang diselenggarakan untuk mencapai penguasaan skill, pengetahuan, dan sikap-sikap pegawai atau anggota organisasi. Pengembangan lebih difokuskan pada peningkatan kemampuan dalam pengambilan keputusan dan memperluas hubungan manusia (human relation) bagi manajemen tingkat atas dan manajemen tingkat menengah, sedangkan pelatihan dimaksudkan untuk pegawai tingkat bawah atau pelaskana.

Adrew E. Sikula (1981)[6] mendefinisikan pelatihan dan pengembangan sebagai berikut :

“Training is short-terms educational procces utilizing a systematic and organized procedure by which nonmanagerial personnel learn technical knowledge and skills for a definite purpose. Development, in reference to staffing and personnel matters, is a long-terms educational process utilizing a systematic and organized procedure by which managerial personal learn conceptual and theoretical knowledge for general purpose”.

Adrew E. Sikula mengemukakan bahwa pelatihan (training) adalah suatu proses pendidikan jangka pendek yang mempergunakan prosedur sistematis dan terorganisasi, pegawai non manajerial mempelajari pengetahuan dan keterampilan teknis dalam tujuan yang terbatas. Pengembangan merupakan suatu proses pendidikan jangka panjang yang mempergunakan prosedur sistematis dan terorganisasi yang pegawai manajerialnya mempelajari pengetahuan konseptual dan teoritis untuk mencapai tujuan yang umum.

Menurut Husein Umar, program pelatihan (training) bertujuan untuk memperbaiki penguasaan berbagai keterampilan dan teknik pelaksanaan kerja tertentu untuk kebutuhan sekarang, sedangkan pengembangan bertujuan untuk menyiapkan pegawainya siap memangku jabatan tertentu di masa yang akan datang.[7]

Pelatihan dan pengembangan merupakan dua konsep yang sama, yaitu untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kemampuan.[8] Tetapi, jika dilihat dari tujuannya, umumnya kedua konsep tersebut dapat dibedakan. Pelatihan lebih ditekankan pada peningkatan kemampuan untuk melakukan pekerjaan yang spesifik pada saat ini, dan pengembangan lebih ditekankan pada peningkatan pengetahuan untuk melakukan pekerjaan pada masa yang akan datang yang dilakukan melalui pendekatan yang terintegrasi dengan kegiatan lain untuk mengubah perilaku kerja.

Menurut Forum Human Capital Indonesia, pendidikan dan pelatihan karyawan dibagi menjadi dua kategori, yaitu pendidikan hard competence dan pendidikan soft competence. Yang pertama dimaksudkan untuk meningkatkan skill dan pengetahuan, sedangkan yang kedua untuk meningkatkan perilaku karyawan.[9]

Menurut Michael Harris, pelatihan dan pengembangan dapat didefinisikan sebagai usaha yang terencana dari organisasi untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kemampuan pegawai.[10]

Kompetensi itu sendiri menurut Charles E. Johnson (1974) adalah “Competency as rational performance which satisfactorily mets the objective for a desired condition”. Menurutnya, kompetensi merupakan perilaku rasional guna mencapai tujuan yang dipersyaratkan sesuai dengan kondisi yang diharapkan. Dengan demikian, suatu kompetensi ditunjukan oleh penampilan atau unjuk kerja yang dapat dipertanggungjawabkan (rasional) dalam upaya mencapai tujuan.

Sementara itu R. Palan (2003). menyampaikan definisi komptensi sebagai karakteristik dasar seseorang yang memiliki hubungan kausal dengan criteria referensi efektivitas dan/atau keunggulan dalam pekerjaan atau situasi tertentu.[11]

Dengan demikian, pelatihan dan pengembangan secara konseptual dapat juga mengubah sikap pegawai terhadap pekerjaan. Hal ini disebabkan pemahaman pegawai terhadap pekerjaannya juga berubah, karena sikap seseorang memiliki elemen-elemen kognitif yaitu keyakinan dan pengetahuan seseorang terhadap suatu obyek dan elemen afeksi yaitu perasaan seseorang terhadap obyek tersebut sebagai akibat dari pengetahuan dan keyakinannya, sehingga pengetahuan yang diperoleh akan dapat mengubah sikap seseorang.


[1] Achmad S. Ruky. 2006. SDM Berkualitas Mengubah Visi menjadi Realitas. Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama. hal. 230.

[2] David Rees & Richard Mc Bain. 2007. People Management: Teori & Strategi. Jakarta. Kencana Prenada Media Group. hal. 204

[3] A. A. Anwar Prabu Mangkunegara. 2008. Perencanaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia. Bandung. PT Refika Aditama. hal. 49

[4] Ibid

[5] Ibid. hal. 50

[6] Ibid

[7] Husein Umar. 2004. Riset Sumber Daya Manusia dalam Organisasi. Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama hal. 12

[8] Maritoh Tua Efendi Hariandja. 2007. Manajemen Sumber Daya Manusia: Pengadaan, Pengembangan, Pengkompensasian dan Peningkatan Produktivitas Pegawai. Jakarta. Grasindo. hal. 168

[9] Forum Human Capital Indonesia. 2007. Pemikiran Strategik Manegenai Human Capital Indonesia: Excellent People-Excellent Business. PT. Gramedia Pustaka Utama. hal. 28.

[10] Maritoh Tua Efendi Hariandja. loc cit.

[11] R. Palan Ph.D. 2003. Competency Management: Teknik Mengimplementasikan Manajemen SDM Berbasis Kompetensi untuk Meningkatkan Daya Saing Organisasi. PPM. hal. 8