Selasa, 09 Maret 2010

Evaluasi Pelaksanaan Training

Kualitas sumber daya manusia hingga saat ini masih tetap menjadi salah satu tantangan terbesar yang dihadapi oleh berbagai perusahaan. Tak terkecuali perbankan, baik perbankan konvensional maupun syariah. Kondisi itu tidak mengherankan, mengingat persaingan bisnis perbankan dan tuntutan masyarakat terhadap kualitas layanan perbankan kini semakin ketat. Hal itu mengharuskan setiap bank untuk selalu meningkatkan kualitas sumber daya manusia-nya.

Para pemimpin perusahaan saat ini pun semakin menyadari bahwa nasib perusahaan bukanlah ditentukan oleh modal financial, mesin, teknologi dan modal tetap tetapi sebenarnya berada di tangan “modal/kapital intangible[1] yang tidak lain adalah kompetensi sumber daya manusia. Hal ini dikarenakan kompetensi berkontribusi dalam pengembangan sumber daya manusia, yang pada gilirannya dapat memberi daya saing bagi perusahaan.

Kompetensi juga dapat membentuk pondasi terciptanya kinerja unggul dan efektif. Itulah sebabnya pimpinan perusahaan selalu menekankan pentingnya kompetensi dalam perusahaan, karena perusahaan yang memiliki daya saing adalah perusahaan yang memiliki orang-orang yang kompeten.

1

Perbankan, khususnya bank umum, merupakan inti dari system keuangan setiap Negara yang juga membutuhkan orang-orang kompeten didalamnya. Bank merupakan lembaga keuangan yang menjadi tempat bagi perusahaan, badan-badan pemerintah dan swasta, maupun perorangan menyimpan dana-dananya. Melalui kegiatan perkreditan dan berbagai jasa yang diberikan, bank melayani kebutuhan pembiayaan serta melancarkan mekanisme sistem pembayaran bagi semua sektor perekonomian.[2]

Menurut Mangasa Augustinus Sipahutar[3] mengenal dan memahami bisnis perbankan di Indonesia merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari mengenal dan memahami perekonomian Indonesia. Dengan demikian, peran yang diemban oleh lembaga perbankan ini sedemikian besarnya sehingga sangat sulit bagi kita untuk mengharapkan pertubuhan ekonomi yang baik tanpa didukung penuh oleh lembaga perbankan.

Salah satu fungsi bank adalah memberikan kredit kepada beberapa sektor perekonomoian. Menurut Imam Mulyana[4] Kredit merupakan salah satu bisnis utama bank bahkan dalam keberadaannya mendominasi bisnis utama lainnya. Karena mendominasi maka berkontribusi besar terhadap keberhasilan atau keterpurukan bank.

Dengan memberikan kredit kepada beberapa sektor perekonomian, bank melancarkan arus barang-barang dan jasa-jasa dari produsen kepada konsumen. Bank juga merupakan pemasok (supplier) dari sebagian besar uang yang beredar yang digunakan sebagai alat tukar atau alat pembayaran, sehingga mekanisme kebijakan moneter dapat berjalan. Hal-hal tersebut menunjukkan bahwa bank-terutama bank umum- merupakan suatu lembaga keuangan yang sangat penting dalam menjalankan kegiatan perekonomian dan perdagangan. Kondisi tersebut menuntut perbankan untuk terus meningkatkan kompetensi sumber daya manusianya terutama dibidang perkreditan.

Pentingnya peran kompetensi dibidang perkreditan dalam perbankan menuntut perusahaan harus menaruh perhatian penting terhadap peningkatan kualitas kompetensi tersebut. Lalu bagaimana membangun sumber daya manusia yang dimiliki agar lebih menjadi kompeten. Salah satu jawabannya adalah dengan pelatihan atau training. Training merupakan salah satu sarana yang umum digunakan oleh perusahaan untuk meningkatkan kompetensi pegawainya. Selain itu pelatihan dan pengembangan juga sebagai bagian integral dari proses pengembangan sumber daya manusia, peranannya menjadi penting dan strategis dalam mendukung visi perusahaan.

Dalam konteks ini, proses training atau pelatihan merupakan salah satu elemen yang paling banyak dilakukan untuk mendongkrak kompetensi para karyawan menuju level yang diharapkan. Faktanya menunjukkan bahwa perusahaan kelas dunia rata-rata mengalokasikan dana sebesar US$ 1,612 per tahunnya untuk melatih setiap karyawan yang mereka miliki (untuk perusahaan di Asia rata-rata adalah US$ 543). Selain itu, rata-rata jumlah jam pelatihan yang diikuti oleh setiap karyawan perusahaan kelas dunia tersebut adalah 62 jam per tahun (sementara untuk rata-rata perusahaan di Asia adalah 40 jam per tahun)[5].

Fakta diatas menunjukkan bahwa perusahaan kelas dunia menginvestasikan dana dan waktu yang relatif besar untuk melakukan kegiatan training. Harapannya, proses pelatihan ini akan mampu secara kontinyu meningkatkan keunggulan kompetensi para karyawannya. Dalam kasus di Indonesia, kita juga melihat banyak perusahaan – baik kelas menengah atau besar – yang rajin melakukan kegiatan training untuk para karyawannya, baik berupa kegiatan in-house training atau berpartisipasi melalui kelas public training. Kenyataan semacam ini tentu saja patut dipuji sebab ia menjadi ”sinyal” bahwa perusahaan domestik-pun mempunyai komitmen yang kuat untuk mendidik dan melatih para karyawannya.

Disadari maupun tidak bahwa perhatian perusahaan untuk meningkatkan kompetensi pegawainya mengakibatkan perusahaan harus mengalokasikan anggaran untuk pelaksanaan training. Harapannya adalah adanya peningkatan kompetensi pegawai sehingga dapat memenangkan persaingan bisnis. Setelah training diberikan, tentunya perusahaan perlu mengetahui sejauh mana efektivitas kegiatan training yang telah dilakukan itu? Adakah kegiatan training sekedar acara refreshing belaka demi “menghabiskan” budget yang telah dianggarkan? Adakah kegiatan training sekedar proses sesaat dan tak pernah memberikan value bagi kinerja perusahaan? Tentu saja, sejumlah pertanyaan ini valid untuk diajukan – lebih-lebih ketika dirasakan makin tidak adanya koneksi antara training dengan kinerja karyawan dan perusahaan secara keseluruhan.

Untuk menjamin kualitas penyelenggaraan program pelatihan, maka diperlukan suatu fungsi kontrol yang dikenal dengan evaluasi untuk mengukur efektivitas training tersebut terhadap tujuan yang ingin dicapai. Evaluasi pelatihan memiliki fungsi sebagai pengendali proses dan hasil program pelatihan sehingga akan dapat dijamin suatu program pelatihan yang sistematis, efektif dan efisien. Singkatnya, dengan dilakukanya evaluasi kita dapat melihat kembali proses pelatihan dan menilai hasil pelatihan serta dampak pelatihan yang dikaitkan dengan peningkatan kompetensi pegawai.

Terkait dengan hal tersebut, Donal L. Kirkpatrick (1998) mengatakan bahwa ”evaluasi suatu training adalah bagian yang tidak terpisahkan dari penyelenggaraan training itu sendiri dan bahwa evaluasi tersebut merupakan kegiatan yang harus dilakukan agar training secara keseluruhan dapat berlangsung efektif”[6]. Sebelumnya, pada tahun 1959, Kirkpatrick mengemukakan teorinya yang terkenal mengenai evaluasi training melalui tulisannya di American Society for Training and Development Journal. Menurutnya ada empat tingkat/level dalam evaluasi training, yaitu: (1) reaction, (2) Learning, (3) Behavior, dan (4) Result.[7]

Evaluasi level 1 (reaction), bertujuan untuk mengetahui reaksi dan pendapat peserta tentang program training yang mereka ikuti. Pada level 2 (Learning), tujuan evaluasi yaitu untuk mengukur sejauh mana pemahaman peserta training atas materi (content) yang diberikan pengajar (daya serap belajar). Pada level 3 (Behavior), tujuan evaluasi training yaitu untuk mengetahui sampai sejauh mana program training yang diikuti oleh peserta dapat merubah behavior/perilaku pegawai di tempat kerjanya atau sejauh mana pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh dari hasil program training telah di terapkan di unit kerja masing-masing. dan pada level 4 (result), evalusi bertujuan untuk mengetahui sejauh mana training yang dilakukan memberikan dampak/hasil (result) terhadap peningkatan kinerja peserta maupun perusahaan secara keseluruhan.

Mencermati keempat tingkat evaluasi tersebut, apabila kita berbicara tentang kualitas training, maka proses training pada umumnya selalu diarahkan untuk meningkatkan kompetensi pegawai, membentuk tenaga-tenaga terampil, dinamis dan kreatif dengan tidak melepaskan diri dari dasar-dasar budaya perusahaan. Kualitas training dapat menunjuk pada kualitas proses dan kualitas produk. Dimana suatu pendidikan disebut berkualitas dari segi proses, jika proses pembelajaran yang bermakna, ditunjang oleh sumber daya (manusia, dana, sarana, prasarana) yang wajar. Logikanya, proses pendidikan yang berkualitas akan menghasilkan output yang berkualitas pula. Oleh karena itu, intervensi sistematis diberikan terhadap prosesnya, sehingga memberikan jaminan kualitas pada produk yang memuaskan.

Dalam penyelenggaraan training, kita membutuhkan berbagai informasi agar proses training berjalan optimal. Kita membutuhkan informasi tentang peserta yang akan mengikuti training. Pertanyaan-pertanyaan evaluasi yang relevan digunakan, antara lain: apakah peserta yang akan diajarkan sudah cukup menguasi kemampuan dasar atau pokok bahasan prasyarat dari materi yang diajarkan? Bagaimana tingkat motivasi peserta dalam mengikuti training? Mengapa mereka mengambil training ini atau tertentu, dan bukan training lainnya? Kita perlu pula melakukan evaluasi terhadap sarana dan prasarana yang dibutuhkan. Beberapa pertanyaan evaluasi yang dapat diajukan antara lain, Apakah ruang training sebanding dengan jumlah peserta? Apakah media yang digunakan perlu diperbaiki? Juga kita harus mengetahui bagaimana kualitas pengajar. Misalnya, apakah ada hal-hal yang perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitas penyajian materi training? Apakah proses training berikutnya akan sama dengan training yang sudah dilakukan sebelumnya? Apakah persiapan training sudah cukup memadai? Bagaimana pendapat peserta terhadap pelaksanaan training? Apakah training berjalan sesuai dengan rencana yang telah dibuat diawal?

Semua jawaban terhadap pertanyaan di atas dapat digunakan sebagai masukan untuk membuat keputusan, misalnya apakah pengajar dan timnya yang sekarang ini perlu diperbaiki formasinya? Apakah strategi pembelajaran yang selama ini dipakai perlu diganti dengan yang lainnya? Apakah cara mengajar para pengajar perlu diubah? Apakah sarana dan prasarana penunjang training yang digunakan selama ini perlu diperbaiki? Apakah pelayanan penyelenggara telah memenuhi harapan peserta training.

Untuk menemukan jawaban atas berbagai permasalahan tersebut dan sekaligus merumuskan cara-cara pemecahannya, dilakukan evaluasi terhadap efektivitas pelaksanaan Program


[1] Cari di internet mengenai pengertian modal intangibel kemudian buatkan foot notenya.

[2] http://books.google.co.id/Kelembagaan perbankan

[3] Mangasa Augustinus Sipahutar. 2007. Persoalan-persoalan Perbankan Indonesia. Jakarta. Gorga Media. Hal v.

[4] Imam Mulyana. 2007. Benteng Pertahanan Kredit Perbankan. http://id.shvoong.com/

[5] Yodhia Antariksa. 2007. Dampak Training : Gone With the Wind. http://strategimanajemen.net/

[6] Stefan Tupamahu., 2005. Pengukuran Efektivitas dan Dampak Finansial Training. Jakarta. 2005. Tesis Program Studi Magister Manajemen Universitas Indonesia. hal. 3.

[7] Donald L. Kirkpatrick. 1994. Evaluating Training Programs: The four levels. San Francisco. Berrett-Koehler Publishers. hal. xiii.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar